Informasi yang tepat
kapan Kopi Arabika mulai ditanam didataran tinggi Ijen Raung sangat berkaitan
dengan sejarah masuknya bibit kopi pertama kali masuk ke Indonesia atau Hindia
Belanda pada waktu itu. Pada abad ke-16, tepatnya kisaran tahun 1686 s/d 1696 Mayor
Of Amsterdam (Nicholas Witsen) meminta Komandan Belanda yang bertugas di Selat
Malabar untuk mendatangkan bahan tanam kopi dari Malabar di India ke Hindia
Belanda.
Bibit kopi pertama
yang didatangkan saat itu ditanam di Kadawoeng dekat Batavia. Gempa bumi dan
banjir yang terjadi saat itu menggagalkan usah introduksi bahan tanam kopi
pertama tersebut. Pada tahun 1699, Henricus Zwaardecroon kembali membawa bahan
tanam kopi Arabika yang kedua dari Malabar. Bahan tanam inilahyang kemudian
menjadi cikal bakal seluruh perkebunan kopi Arabika di Hindia Belanda.
Dua belas tahun
kemudian tepatnya tahun 1711, dilakukanlah ekspor pertama kopi dari Jawa ke
Eropa melalui perusahaan perdagangan milik pemeritah Hindia Belanda atau Dutch Indies Trading Company atau yang
lebih dikenal dengan istilah Vereninging
Oogst Indies Company (VOC). Ekspor tercatat sebanyak 116.687 pounds atau
sekitar 52.929 kg ditahun 1720 dan 1396,486 pounds atau sekitar 433.635 kg
ditahun 1724. Ekspor tersebut menjadikan Hindia Belanda sebagai daerah pertama
diluar Ethiopia dan Arabia yang mengusahakan kopi dalam jumlah yang cukup
banyak.
Pada tahun 1725
pemerintah Hindia Belanda mulai melakukan eksploitasi pada profit bisnis
komoditas perkebunan seperti kopi, gula, teh dan karet. Raja Wilem 1 di Belanda
kemudian memperkenalkan cultivation system dan terkenal dengan Cultuur Stelsel
atau tanam paksa, eksploitasi terhadap lahan dan manusia mulai di lakukan pada
tahun 1830-1870 setelah krisis ekonomi yang melanda Belanda kala itu.
 |
Gambar : Pabrik Kopi Blawan (lereng IJEN RAUNG) sekarang |
Sejak saat itulah
kopi mulai di tanam di mana-mana di wilayah Hindia Belanda. Para pedagang di
Amerika dan Eropa saat itu, bahkan mengenali daerah Besoeki dan Pasoeroean
sebagai penghasil kopi Arabika di jawa, karena kopi dari daerah tersebut
mendominasi 85% dari produksi kopi jawa. Beberapa daerah lain yang juga dikenal
sebagai penghasil kopi saat itu adalah Preanger, Cheribon, Kadoe, Semarang,
Soerabaya dan Tegal. Penanaman pertama di daerah Besoekih atau kawasan dataran
tinggi Ijen Raung saat ini, dimulai dari Mount Blau sekarang Blawan, tercatat
rumah administratur di Blawan dibangun pada tahun 1895 seiring dengan
pembangunan pabrik disebelahnya. Tercatat setelah Blawan, Kebun Jampit juga
mulai didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1927.
 |
Gambar : Gunung Ijen Raung dilihat dari Banyuwangi
yang digambar oleh Emil Stohr (Jerman 1874) |
Sampai dengan abad
18, Java Coffe dipercaya sebagai salah satu kopi terbaik dan menjadi bagian
coffee-blend klasik Mocha-Java. Mocha-Java merupakan hasil blending antara kopi
yang berasal dari kota Al-Mukha di Yaman dengan kopi jawa (java coffee).
Pada tahun 1880 hanya
jenis Arabika yang tumbuh di dataran Hindia Belanda, sampai 1878 penyakit karat
daun, Hemiliea Vastatrix menyeleksi secara alami dan hanya tanaman Arabika yang
tumbuh di dataran tinggi yang mampu bertahan hidup. Kopi Arabika yang tumbuh di
dataran rendah mati akibat serangan penyakit tersebut. Pemerintah Hindia
Belanda selanjutnya mulai menanam kopi jenis Robusta dan Liberika untuk
mengganti tanaman kopi Arabika yang mati di dataran rendah tersebut.
Kopi Arabika yang
dikelola perkebunan-perkebunan Hindia Belanda tersebut merupakan cikal bakal
bagi perkebunan rakyat di kawasan Ijen Raung. Sekitar tahun 1920, penanaman
terbatas dipekarangan dilakukan pertama kali oleh rakyat di daerah Kayumas,
Sukorejo dan Darungan. Buruh-buruh tani yang saat itu juga bekerja di
perkebunan-perkebunan milik pemerintah Hindia Belanda membawa biji-biji kopi
untuk di tanam di pekarangan.
Setelah kemerdekaan
Republik Indonesia pada tahun 1945, varietas-varietas baru kopi Arabika mulai
di perkenalkan setelah revitalisasi dan nasionalisasi perkebunan-perkebunan
besar milik Hindia Belanda tersebut pada tahun 1950. Pada awalnya istilah kopi
Arabika kurang dikenal masyarakat di kawasan Ijen Raung. Mereka lebih mengenal
“Kopi Padang”, dinamakan demikian karena setelah meminum kopi ini, maka
pandangan menjadi terang atau “padang” dalam bahasa jawa.
Melalui Proyek Rehabilitas
dan Pengembangan Tanaman Ekspor (PRPTE) tahun anggaran 1978/1979 melalui Dinas
Perkebunan Provinsi Jawa Timur, pemerintah mulai berusaha untuk membangkitkan
kembali budidaya kopi. Kegiatan tersebut secara tidak langsung meningkatkan
motivasi untuk mengembangkan varietas Kopi Arabika di kawasan Ijen Raung. Pertimbangan
pengembangan Kopi Arabika Java Ijen Raung
bukan hanya didasarkan pada kepentingan ekspor, akan tetapi perkebunan kopi di
dataran tinggi juga dipandang mempunyai peran strategis dalam melestarikan
fungsi hidrologis. PRPTE di Bondowoso telah mampu mengembalikan dan menambah
luas areal perkebunan. Namun, peningkatan produksi tersebut rupanya belum
diikuti dengan perolehan mutu yang baik.
Untuk mengatasi hal
ini Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Timur bekerjasama dengan Pusat Penelitian
Kopi dan Kakao Indonesia (PPKKI) untuk membangun agribisnis kopi Arabika di
kawasan Ijen Raung dengan pendekatan pemberdayaan kelembagaan di tingkat
petani. Dalam kerjasama ini fungsi Dinas Perkebunan lebih ditekankan pada
penggarapan di sektor petani, sedangkan fungsi PPKKI lebih ditekankan pada
penggarapan masalah pasar, pengawalan teknologi, perbaikan mutu, dan
pembangunan sitem agribisnis.
Mesin yang
difasilitasikan kepada UPH-UPH berupa pengelupasan kulit merah (pulper) dan
mesin cuci (washer). Pada tahun 2009 PPKKI telah mulai menjajagi pasar dengan
cara mendatangkan calon pembeli PT. Indokom Citra Persada dari Sidoarjo.
 |
Gambar : Penulis sedang melakukan Pulper Kopi Arabika IJEN RAUNG |
Pada awal tahun 2009
tersebut mulai di lakukan sosialisasi pentingnya mutu terhadap harga jual kopi
Arabika Ijen Raung kepada para petani. Selain itu juga di mulai penyelengaraan
pelatihan yg di kemas dalam bentuk sekolah lapang mengenai prosedur pengolahan
basah pada kopi Arabika untuk memperoleh mutu cita rasa yang baik dengan
menggunakan mesin yang tersedia. Pelatihan dipandu langsung oleh peneliti
senior dari PPKKI. Pada tahun 2010 Dinas Perkebunan menfasilitasi para-para
untuk penjemuran kopi berkulit tanduk (kopi HS). Setelah pelatihan para petani
sudah mulai mau mengolah kopi dengan proses basah, walaupun dengan sikap sangat
hati-hati.
Harapan adanya
perbaikan harga ini rupanya telah mendorong para petani untuk menanam kopi
kembali. Hal ini nampak dari animo petani untuk minta bantuan bibit kopi kepada
Dinas Perkebunan. Pada tahun 2010 telah membantu bibit sambungan sekitar 15
ribu bibit kopi Arabika dengan batang bawah yang tahan terhadap nemaboda
parasit.
Sejak tahun 2010 situasi ini telah berubah.
Semakin banyak konsumen yang ingin membeli Arabika basah, dan permintaan ini
bisa dipenuhi oleh UPH-UPH yang di fasilitasi oleh Dinas Perkebunan yang terus
menyediakan peralatan-peralatan kepada kelompok tani, dan oleh beberapa pembeli
yang juga menyediakan beberapa peralatan selama tahun-tahun terakhir ini.
Beberapa kelompk tani juga ada yang membeli peralatan sendiri. Sampai saat ini
terdapat 28 UPH yang mampu untuk memproduksi kopi olah basah. Keadaan baru ini
semakin mendorong seluruh petani yang telah mengembangkan petik gelondong merah
untuk meningkatkan luas perkebunan mereka. Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Timur
dan Dinas Bidang Perkebunan Kabupaten Bondowoso serta Situbondo juga
menyediakan pohon-pohon kopi (S795) dengan tujuan untuk membantu mereka untuk
mengembangkan perkebunan-perkebunan ini.
Penjabaran tentang
sejarah Kopi Arabika Java Ijen Raung di atas menunjukkan bahwa lebih dari satu
abad, kopi telah menjadi budaya masyarakat petani yang primordial. Bahkan bila
ada fluktuasi besar pada lahan yang di tanami, kopi ini menjadi tanaman yang
penting dan menjadi pendorong bagi pembangunan daerah.
Sejak pemerintahan
Belanda mulai mengembangkan tanaman ini di kawasan Ijen Raung, kopi mulai
mendapatkan reputasi yang tinggi di masyarakat maupun orang Indonesia lainnya
dan para pecinta kopi dari manca negara.
Saat ini, berkat
pengembangan agribisnis khususnya dukungan komonitas Kopi Arabika Java Ijen Raung,
semakin banyak orang dari luar kawasan ini dan dari manca negara berdatangan ke
kawasan Ijen Raung. Hal ini semakin meningkatkan reputasi kawasan ini maupun
produk-produknya, khususnya kopi.
Selain
konsumen dari domestik dan manca negara, konsumen Kopi Arabika Java Ijen Raung
sekarang ini juga mencakup para pecinta kopi yang menganggap kopi jenis ini
sebagai “origin coffee”, yang bersedia membayar kopi ini dengan harga tinggi.
Para konsumen ini bisa ditemukan di Bondowoso atau di seluruh Indonesia, bahkan
di Amerika, Australia dan beberapa negara Eropa, di mana kopi ini telah
diekspor.
 |
Gunung Raung pada saat meletus 2015
Gambar diambil dari Kebun Penulis di Daerah Blawan Kec. Sempol |
Sumber :
1. Buku
Persyaratan IG Kopi Java Ijen Raung, Kementerian Hukum dan HAM RI;
2. Wikipedia.
Salam,
Petani Kopi IJEN RAUNG